Saya akan menyampaikan manaqib Datu Abulung al-Banjari. Berikut inilah manaqib Datu Abulung al-Banjari :
Seorang ulama yang pernah menggemparkan Kalimantan dengan paham "Wihdatul Wujud"nya. Beliau memang tak banyak dikenal orang karena beliau tidak meninggalkan kitab karangan seperti ulama-ulama lainnya. Keilmuan beliau hanya dapat kita ketahui secara lisan dari mulut ke mulut atau dari pewaris para murid beliau.
Banyak pendapat yang berbeda tentang kisah beliau, ada yang menyatakan bahwa ilmu beliau salah atau "menyalah/tesalah" (Bahasa Banjar) tapi sebagian masyarakat banjar bahkan hampir seluruhnya menyatakan bahwa Datu Abulung adalah seorang wali Allah, terlepas dari segala kontroversi yang ada riwayat beliau sangat dicari oleh sebagian masyarakat Banjar.
Dalam sejarah pemikiran keagamaan di Kalimantan pada abad ke-18, setidaknya ada tiga tokoh ternama di kerajaan Banjar selain Datu Suban dan para muridnya yang sakti mandraguna, pada masa itu para ulama banjar memang sangat terkenal dengan segala karamah dan kesaktiannya, di antara tiga orang tokoh ternama dan terkenal tersebut adalah : 1. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Datu Kalampayan), 2. Syekh Muhammad Nafis al-Banjari (Datu Nafis), dan 3. Syekh Abdul Hamid Abulung al-Banjari (Datu Abulung) dan sosok Datu Abulung inilah yang penuh misteri hingga saat ini.
Pada masa itu, pemerintahan kerajaan diperintah oleh Sultan Tahlilullah. Saat itulah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh Abdul Hamid Abulung al-Banjari diberangkatkan oleh kerajaan Banjar untuk ilmu dengan biaya kerajaan dengan harapan nantinya bisa membawa sinar terang bagi kerajaan Banjar. Mereka diberangkatkan ke Tanah Suci Mekah, tercatat Datu Kalampayan belajar kepada beberapa orang guru. Sedangkan Datu Abulung juga belajar kepada beberapa orang guru yang sayangnya tidak tercatat karena tidak adanya karangan beliau yang biasanya merujuk kepada guru-guru pengarang.
Sepulangnya dari menuntut ilmu di Tanah Suci, Datu Abulung mulai mengajarkan ilmu yang didapatnya kepada masyarakat sekitarnya seperti ilmu Tasawuf. Namun ilmu Tasawuf yang beliau ajarkan kepada orang awam ini sangat berlainan dengan pelajaran Tasawuf yang selama ini dikenal masyarakat, karena beliau langsung mengajarkan inti dari ilmu Ma'rifat. Datu Abulung mengajarkan bahwa : "Tiada yang maujud hanya Dia dan Tiada maujud lain-nya, Tiada aku melainkan Dia dan Dia adalah aku dan Aku adalah Dia". Dalam pelajaran Datu Abulung juga diajarkan bahwa Syariat yang diajarkan selama ini adalah kulit, belum sampai kepada isi (Hakikat). Sedangkan pelajaran yang selama ini diyakini masyarakat umum adalah "Tiada yang berhak dan patut disembah selain Allah, Allah adalah khalik dan selainnya adalah makhluk, tiada sekutu bagi-Nya."
Ajaran Datu Abulung ini kurang lebih seperti ajaran Abu Yazid al-Bustami, Husein bin Mansyur al-Hallaj yang kemudian masuk ke Indonesia melalui Hamzah Fansuri dan Syamsuddin di Sumatera dan Syekh Siti Jenar di Jawa.
Mendengar fatwa Datu Abulung yang berbeda dari kebanyakan paham masyarakat pada waktu itu, maka gemparlah masyarakat yang menerima ajaran tersebut, bahkan ajaran yang beliau sampaikan menjadi pembicaraan masyarakat umum yang mana akhirnya sampai ke telinga Sultan. Sebelum Datu Abulung dipanggil, Sultan terlebih dahulu minta pendapat Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tentang ajaran Datu Abulung tersebut. Setelah menelaah beberapa kitab dan kemudian disimpulkan bahwa ajaran yang dibawa Datu Abulung dapat menyesatkan masyarakat dan bisa merusak kehidupan beragama.
Berdasarkan keputusan tersebut maka dipanggillah Datu Abulung, salah seorang prajurit kerajaan disuruh untuk mendatanginya. Sesampai di tempat Datu Abulung lalu dipanggillah beliau. Satu riwayat menceritakan pemanggilan tersebut, prajurit itu berkata : "Wahai Syekh Abdul Hamid, anda dipanggil baginda Sultan," kemudian dijawab oleh Datu Abulung,"Syekh Abdul Hamid tidak ada, yang ada hanya Allah." Mendengar hal tersebut, prajurit mengadukannya kepada Sultan. Kemudian Sultan menyuruh kembali dan memanggil "Allah" tersebut. Setelah sampai, prajurit itu berkata "Wahai Allah, anda dipanggil baginda Sultan," kemudian dijawab kembali oleh Datu Abulung "Allah tidak ada, yang ada hanya Nur Muhammad." Mendengar hal tersebut, prajurit kembali lagi dan mengadukannya ke Sultan. Kemudian Sultan berkata "Panggil ketiganya, Syekh Abdul Hamid Abulung, Allah, dan Nur Muhammad". Setelah prajurit tersebut memanggil seperti yang diperintahkan Sultan, barulah Datu Abulung menuju istana.
Di tengah perjalanan menuju istana dipasangkan perangkap yang apabila diinjak maka melesatlah sebilah tombak tajam yang akan menghujam ke tubuh orang yang menginjaknya. Saat itu terbukti kebenaran ajaran Datu Abulung, ketika beliau menginjak perangkap tersebut tombak tajam itu memang melesat dengan cepatnya ke udara dan berhenti tepat di belakang Datu Abulung dan jatuh ke tanah tanpa beliau mengetahuinya.
Setelah beliau sampai di istana dan terjadilah tanya jawab. Sultan ingin bukti kebenaran ajaran Datu Abulung, kemudian Datu Abulung berucap "Asyhadu allaa ilaha illallah" tiba-tiba tubuh beliau menghilang, kemudian terdengar suara "Wa asyhadu anna muhammadarrasulullah" timbullah kembali badan beliau. Semua orang kagum melihat hal tersebut, tetapi dengan menimbang untuk keselamatan orang awam yang lebih banyak maka dihukumlah Datu Abulung dengan dimasukkan ke dalam kerangkeng yang ukurannya hanya muat tubuh beliau dan hanya cukup untuk berdiri. Dengan kurungan seperti itu akhirnya beliau ditenggelamkan di sungai Lok Buntar, maka akhirnya tenggelamlah sampai ke dasar sungai. Tanpa diketahui oleh semua orang suatu kejadian aneh terjadi, apabila tiba waktu sholat fardhu maka kerangkeng tersebut akan muncul ke permukaan dan beliau kemudian keluar dari kerangkeng tersebut untuk melakukan sholat. Selesai sholat, secara perlahan kerangkeng tersebut tenggelam kembali ke dasar sungai.
Pada suatu malam menjelang subuh, sepuluh orang pencari ikan melakukan aktivitasnya di sekitar tenggelamnya Datu Abulung. Lamat-lamat mereka mendengar suara adzan, perlahan-lahan mereka dekati sumber suara adzan tersebut, dari kejauhan mereka melihat dan mengamati keganjilan dan keanehan Datu Abulung tersebut. Sejak saat itu mereka mengangkat beliau menjadi guru mereka, dari beliau mereka belajar berbagai ilmu agama islam. Karena jumlah mereka sepuluh maka dinamakanlah Orang Sepuluh atau sekarang orang menyebutnya Datu Sepuluh. Setelah belajar, datu sepuluh ini menjadi pegawai kerajaan.
Setelah direndam dalam air, Datu Abulung tidak juga mati dan akhirnya peristiwa itu diketahui pihak kerajaan. Datu Abulung pun dikeluarkan dan kembali dibawa ke istana. Di hadapan Sultan, Datu Abulung mengatakan bahwa beliau tidak bisa dibinasakan kecuali dengan senjata yang ada di dinding rumah beliau dan menancapkannya di dalam lingkaran yang beliau tunjukkan di belikat beliau. Setelah sholat dua rakaat, senjata tersebut ditancapkan di belikat yang sudah ditandai tersebut maka memancarlah darah segar dan anehnya darah tersebut membentuk kalimat "Laa ilaaha illallah muhammadurrasulullah".
Setelah sekian lama, kuburan beliau akhirnya ditemukan oleh masyarakat atas petunjuk dari Alm. Tuan Guru H. Muhammad Nor Tangkisung yang juga diyakini adalah seorang kekasih Allah. Letaknya sebelah hilir dari Kampung Dalam Pagar dan sekarang dipelihara makamnya oleh warga setempat. Selain itu keanehan makam yang terletak di pinggir sungai itu beberapa kali tergerus air sungai dan turun ke bawah, tetapi anehnya makam itu naik dengan sendirinya dan tanah dibawahnya juga mengikuti makam tersebut. Wallahu a'lam
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Source : https://ceritaparakekasihallah.blogspot.co.id dan lebih dari itu, saya tambahkan sendiri atas pengetahuan saya.
Yaa sip mantap sangat bermanfaat
BalasHapusTerima kasih
HapusKeren Banget Artikelnya Sangat Bermanfaat Izin Copas.
BalasHapusSilahkan
HapusM Faisal Ganteng
BalasHapusAnjir :'v
Hapus